Indonesia mendapat dana pinjaman dari Australia Rp 15,4 triliun dengan batas waktu pelunasan 15 tahun mendatang. Dalam catatan Bank Indonesia, pinjaman ini membuat utang luar negeri Indonesia meningkat.

Per Agustus 2020 saja utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 413,4 miliar atau setara Rp 6.098,27 triliun. Kemudian dalam laporannya, Bank Dunia memasukkan Indonesia ke posisi 6 negara berpendapatan kecil dan menengah dengan utang luar negeri tertinggi di dunia. Bank Dunia juga menyebut terjadi peningkatan posisi utang luar negeri Indonesia sebesar 5% dari tahun 2018 yang tercatat sebesar US$ 379,58 miliar.

Bila dibandingkan posisi utang luar negeri Indonesia tahun 2018 dengan 10 tahun sebelumnya, maka ada peningkatan hingga 124%. Adapun posisi utang luar negeri Indonesia 10 tahun lalu di 2009 hanya sebesar US$ 179,40 miliar.

Wakil Ketua MPR RI, Syarief Hasan berpesan besarnya utang luar negeri yang dimiliki Indonesia harusnya menjadi prioritas Pemerintah untuk dikelola dengan baik. Apalagi menurutnya di tengah pandemi COVID-19 bisa menimbulkan berbagai masalah di bidang ekonomi.

"Utang luar negeri yang semakin membludak akan semakin membebani keuangan negara di tengah Pandemi COVID-19 dan akan menimbulkan banyak masalah di bidang ekonomi," ungkap Syarief dalam keterangannya, Sabtu (14/11/2020).

Syarief juga mengingatkan pemerintah terkait rasio utang luar negeri terhadap pendapatan nasional bruto (PNB). Ia menyebut PNB Indonesia telah berkisar Rp 15.779,7 triliun.

"Dengan Utang Luar Negeri mencapai Rp 6098,2 triliun berarti rasionya berkisar 38,64%. Kondisi ini menunjukkan pengelolaan utang Indonesia kurang baik. Indikator ini juga menunjukkan kemampuan membayar utang Indonesia semakin memburuk," tegas Syarief.

Ia juga menegaskan agar pemerintah berhati-hati dalam mengelola utang luar negeri. Menurutnya rasio utang Indonesia kemungkinan akan naik beberapa tahun ke depan akibat tekanan pandemi. Belanja Pemerintah dinilai harus meningkat seiring dengan penyusutan penerimaan negara, ditambah utang yang semakin membengkak. Ia juga menyebut alasan Pemerintah menerima pinjaman dari Australia tidak akan menyelesaikan persoalan utama pandemi COVID-19.

"Persoalan utama Pandemi Covid-19, baik kesehatan, ekonomi, maupun sosial bukan terletak pada persoalan dana, tetapi terletak pada persoalan manajemen penanggulangannya," ungkapnya.

Syarief menyebut selama ini Pemerintah telah mengucurkan dana hingga Rp 800 triliun untuk menanggulangi COVID-19 namun hasilnya belum optimal. Ia menilai ekonomi Indonesia masih terkontraksi minus dan resesi pertama kali sejak tahun 1999. Ini dinilai membuktikan persoalan yang ada pada manajemen penanganan pandemi dan pengelolaan prioritas anggaran.

Ia juga menilai Pemerintah lebih banyak mengangagarkan pemulihan ekonomi nasional pada sektor usaha besar, termasuk BUMN. Padahal menurutnya kunci penyelesaian persoalan ekonomi terletak pada UMKM dan koperasi yang selama ini berkontribusi 63% terhadap PDB Indonesia dan menyerap 96% tenaga kerja Indonesia.

"Pemerintah harus mengoptimalkan *penguatan UMKM, koperasi, dan ekonomi grassroot apabila ingin menguatkan ekonomi. Sebab, merekalah tulang punggung ekonomi Indonesia," tutup Syarief.(dtf)